Rabu, 16 September 2009
Sumbar dan Maksiat
Sumbar dan Maksiat = Sangat Memalukan
Awal Januari 2008, saya kembali ke kampung tercinta, Ranah Minang. Ya, saya menikam jejak nostalgia dan melepas rindu pada negeri Bundokanduang, setelah sekian bermukim di Bangka Belitung. Di pulau Bangka, Saya selalu membanggakan Sumatera Barat ( atau Minangkabau ) sebuah negeri yang masyarakat-nya taat pada adat dan alim menjalankan ibadah. Negeri penuh nilai-nilai adat budaya, karena menganut adaik basandi syarak, syarak basandi ktabullah.
Tetapi, tatkala beberapa hari di Pa-dang, rasa bangga itu meleleh deras. Luluh! Saya jadi malu sendiri. Karena, ternyata daerah Tuah Sakato ini, seperti tidak lagi bapaga adat jo agamo. Premanisme me-nyolok, kasus Narkoba menonjol, pengi-dap HIV/AIDS tidak sedikit dan kaum mudanya, mulai terjebak free sex. Pros-titusi juga marak dan bisa ditemui di tro-toar!
Bathin saya menangis. Seakan tidak percaya dengan apa yang saya lihat, tatkala raun malam di Padang. Saya juga trenyuh membaca berita head line MEDIA SUMBAR edisi : 300 Tahun VII, Ra-bu 14 Januari 2009 berjudul : Sumbar Alami Degradasi Moral dengan sub judul Dampak Kasus Free Seks, HIV.AIDS dan Narkoba Kaum Muda. Di halaman 8, juga berita dengan tajuk : Kita Munafik! Edisi
Benarkah data yang disajikan? Jika disimak, data itu akurat karena berda-sarkan data Dinkes dan hasil penelitian ( Juga dikutip berita di edisi sebelumnya ). Sungguh ironis, kasus HIV-AIDS di Sum-bar meningkat. Data itu menunjukkan bahwa maksiat di daerah yang bapaga adat jo agamo, begitu merisaukan. Sebuah kenyataan yang semestinya tidak terjadi di Minangkabau.
Namun itu yang terjadi, seks bebas atau praktik asusila sepertinya berkem-bang bagaikan api memakan sekam (tidak tampak ke permukaan namun terus menjalar).
Kasus HIV-AIDS merupakan bukti tak terbantahkan dan benar-benar me-nyentakkan.Moralitas generasi muda Minang yang katanya kental dengan kehidupan adat dan agama,pun mulai dipertanyakan.
Apakah ini juga bukti degradasi dan kekropasan moral? Jika jawabannya ya!Maka ini sangat mema-lukan dan mencoreng Sumbar yang kualitas mental spritual-nya cukup teruji.
Tetapi itu hanya euforia masa lalu,sekarang mulai ter-kikis,paga adat jo agama yang selalu dibanggakan sebagai sebuah kekuatan moral,kini mulai melapuk dan rapuh.
Anak muda minang yang dulunya santun dan bijak dalam bertindak, sekarang mulai meninggalkan sarak (aga-ma).Demikian juga dengan anak gadih minang dulu berkerudung, namun sekarang mulai buka tenda (buka rambut dan berpakaian ketat).
Rasa malu melakukan kemaksiatan mulai hilang.Malu hanya secara terbuka, tidak secara terselubung alias maksiat terselebung.Ketika muncul wacana ada-nya lokalisasi di Sumbar,menimbulkan re-aksi dan kritikan keras dari Pemerin-tah,lembaga adat dan agama karena tidak pantas ada di Sumbar yang kental dengan kehidupan adat dan agama.Sangat mema-lukan dan mencoreng marwah serta nama baik Sumbar.
Itu wajar dan patut didu-kung.Namun anehnya,kendati lokaliasi dilarang tetapi panti rehabilitasi bagi pelaku asusila justeru disediakan.Kebijakan moral yang membingung-kan,disatu sisi lokalisasi dila-rang namun panti rehabilitasi justru disedikan.
Lantas, apakah panti rehabilitasi menguatkan bukti bahwa kemaksiatan di daerah ini semakin merajalela?Bisa saja begitu. Sebab,banyak tempat dijadikan lokasi maksiat terselebung.Ada warung dan rumah yang diduga multifungsi, tem-pat berjualan bagi pemiliknya sekaligus disediakan kamar tempat esek-esek.
Bahkan,di salah satu penginapan di Kota Padang diduga dijadikan tempat lo-kalisasi yang dibacking aparat.Tempat maksiat tersebut tidak tersentuh dan tetap beroperasi hingga kini.
Belum lagi di kawasan tertentu di da-lam kota yang diduga menjadi tempat transaksi seks.Ditambah lagi transaksi seks via telepon seluler,sistem antar jem-put yang diduga dilakukan oknum maha-siswa di sebuah perguruan tinggi alias ayam kampus.Para wanita pria (waria) pun bergerilya mencari pelanggan, mela-yani nafsu lelaki hidung belang yang ingin mendapatkan kenikmatan sesat.
Kondisi ini adalah bukti bobroknya moral dan perlu disikapi secara bersa-ma.Tidak hanya tanggungjawab peme-rintah tetapi berbagai elemen diantaranya tokoh adat, agama, pemuda, wanita dan para orangtua di rumah juga berperan merehabilitasi moralitas anaknya.
Diperlukan solusi cerdas dan tepat untuk mengatasi persoalan tersebut, bukan hanya melarang mendirikan lokali-sasi tetapi kebijakan tepat untuk memu-tus mata rantai berkembangnya maksiat di daerah ini.
Meningkatnya kasus HIV-AIDS bah-kan Sumbar masuk lima besar (berdasar-kan data nasional), bisa dijadikan bukti bahwa kemaksiatan di daerah ini makin tak terbendung dan perlu segera diatasi untuk menyelamatkan moral kaum muda.
Sangat memalukan, Sumbar yang di-kenal dengan daerah yang beradat dan ber-agama namun kasus seks bebas cukup tinggi. Ada apa dengan Sumatera Barat? Provinsi Bangka Belitung saja yang meru-pakan daerah kepulauan tidak demikian halnya.
Padahal transaksi perdagangan antar pulau di daerah itu sangat tinggi yang ber-potensi maraknya terjadi berbagai kasus maksiat.Namun kasus HIV-AIDS di daerah itu sangat rendah.
Bangka Belitung memiliki lokalisasi, kafe dan tempat hiburan lainnya sebagai lokasi transaksi seks,namun tidak mendo-rong terjadinya peningkatan kasus HIV-AIDS. Justeru di Sumbar terjadi sebalik-nya,kenapa dengan Sumbar. Apakah diperlukan lokalisasi, tentu saja tidak karena bertentangan dengan kultur dan filosofis daerah ini.
Mungkin diperlukan sebuah kebija-kan, komitmen, tekad dan iktikad bersama memberantas serta memerangi maksiat di daerah ini. Sebenarnya sudah dilakukan, tetapi diperlukan action lebih tegas yakni kolaborasi antara penguatan pendidikan agama dan kebijakan pemerintah tentang pencegahan kemaksiatan.
Bisa dan maukah?? a.bakri bakar, sh
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar